Puzzel tempat ibadah
DOSEN :
ANIES LISTYOWATI, S .Pd. M .Pd
Tim
penyusun :
1.
Tinuk Fauriyah (169000008)
2.
Ilma Fauziah (169000040)
3.
Sri Wahyuni Ningsih (169000053)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak
merupakan generasi penerus bangsa, karena ditangan merekalah diteruskan sejarah
kehidupan manusia di Indonesia selanjutnya, begitu pentingnya mereka dalam
rantai kelangsungan tradisi suatu bangsa. Maka tidak heran jika semua orang tua
mendambakan anak-anaknya menjadi generasi yang baik, terutama bagi umat Islam.
Anak bukan sekedar untuk menjadi orang yang baik di dunia saja. Tapi juga harus
kita didik agar menjadi generasi yang shaleh untuk kebahagiaan kelak di
akhirat.
Upaya
mendidik seorang anak tentunya bukanlah perkara yang mudah, mendidik anak
adalah upaya membentuk karakter manusia, manusialah yang nantinya akan
membentuk masyarakat dan juga sebuah bangsanya. Juga sebaliknya, buruk karakter
manusianya akan membuat sebuah masyarakat dan bangsa tersebut menjadi bangsa
yang buruk. Maka baik buruknya suatu bangsa tergantung dari karakter atau moral
manusianya.
Dalam
perkembangannya, dari mulai lahir hingga memasuki pendidikan dasar, anak berada
dalam masa keemasan sekaligus masa kritis dalam tahapan kehidupan manusia, yang
akan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Masa-masa ini merupakan masa
yang tepat untuk meletakan dasar-dasar pengembangan.
Perkembangan
anak agar tumbuh dengan baik tidak akan terlepas dari bantuan dan bimbingan
orang lain terutama dari yang lebih dewasa dan dianggap mampu memberikan
bimbingan kepada anak, misalnya orang tua dan guru. Bimbingan dan bantuan yang
diberikan ditujukan untuk memberikan kepribadian utama bagi anak. Kepribadian
yang utama seharusnya dapat dibentuk dengan pemberian pendidikan agama.
Dengan demikian solusi yang tepat untuk
perkembangan nilai agama dan moral yaitu anak diajarkan untuk belajar mengenal
berbagai macam agama yang berada di Indonesia dan di anak diajak untuk
mengargai orang lain meskipun beda-beda agama.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tahap
perkembangan Nilia-nilia Agama Moral
Berdasarkan
tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN pendidikan moral di
Indonesia bisa dirumuskan sebagai berikut : Pendidikan moral adalah suatu
program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan
menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan pertimbangan
psikologis untuk tujuan pendidikan. Menurut paham ahli pendidikan moral, jika
tujuan pendidikan moral akan mengarah seseorang menjadi bermoral, yang penting
adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup
bermasyarakat (Zuriah, 2011: 22). Pendidikan moral di Indonesia dimaksudkan
agar manusia belajar menjadi bermoral, dan bukannya pendidikan tentang moral yang
akan mengutamakan penalaran moral (moral reasoning) dan
pertumbuhan inteligensi sehingga seseorang bisa melakukan pilihan dan penilaian
moral yang paling tepat (Zuriah, 2011: 21). Di Indonesia pendidikan
moral lebih tertuju bagaimana dapat menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk
sikap moral seseorang. Emile Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas
Prancis.
B. Aktivitas Guru dan Anak
Nilia-nilai Agama Moral
Dalam aktivitas pembelajaran antara guru dan anak,
guru akan mengajarkan kepada anak untuk mengenal berbagai macam agama di
Indonesia,dan guru menjelaskan bahwa kita sebagai sesama manusia harus
menghargai sesama teman meskipun telah berbeda-beda agama. anak diajari untuk
bersosiaalisasi dengan baik di lingkungan sekitar supaya anak mempunyai kepribadian
yang baik di dalam masyarakat.
C. Lingkungan
yang Kreatif Nilai-nilai Agama Moral
Menurut Anak usia dini dalam pengembangan nilai moral
dan agama akan berkembang secara optimal apabila anak bisa berkembang di
lingkungan yang baik. Sosial anak akan berkembang apabila sering kumpul dengan
masyarakat, anak bisa kreatif apabila dapat dorongan dari orang di sekitarnya.
D. Bermain dan
Eksplorasi Nilai-nilai Agama Moral
Tahap bermain dalam
karya djoko dan anies (2017:88) tahap bermain menurut parten dan rogers alam
dockettdan fleer terdapat 6 tahapan bermain antara lain :
1.
Unoccupied
atau tidak menetap
Anak hanya melihat anak
yang lain lagi bermain akan tetapi ank tidak ikut bermain. Anak berjalan jalan,
tetapi tidak terjadi interaksi dengan anak yang lagi bermain.
2.
Unlooker
atau penonton
Pada tahap ini anak
belum mau terlibat untuk bermain akan tetapi anak sudah memulai untuk mendekaat
dan bertanya pada teman yang sedang bermain dan anak sudah mulai muncul
ketertarikan untuk bermain setelah mengamati anak mampu mengubah caranya untuk
bermain.
3.
Solitary independent play atau
bermain sendiri
Tahap ini anak sudah
mulai untuk bermain, akan tetapi seorang anak bermain sendiri dengan mainan
nya, terkadang anak berbicara dengan teman nya yang sedang bermain, tetapi tidak
terlibt dengan permainan anak lain.
4.
Parallel activity atau
kegiatan pararel
Anak mulai bermain
dengan anak yang lain tetapi belum terjadi interaksi dengan anak yang lain nya
dan anak cenderung menggunakan alat yang di sekelilingnya.
5.
Associative play
atau bermain dengan teman.
Tahap ini terjadi
interaksi yang lebih komplek pada anak. Terjadi tukar menukar mainan antar anak
satu dengan yang lain nya dan cara bermain anak sudah saling mengingatkan.
6.
Cooperative or organized
supplementary play atau kerja sama dengan bermain.
Saat anak bermain
bersama dan lebih terorganisir dan masing masing menjalankan sesuai dengan job
yang sudah mereka dapat yang sling mempengaruhi satu sama lain. Anak bekerja
sama dengan anak yang lain nya untuk membangun sesuatu terjadi persaingan
membentuk permainan drama dan biasanya terpengaruh oleh anak yang memimpin
permainan.
Tahap bermain anak dalam karya djoko dan
anies (2017:74)dimana
anak bermain bersama teman, tetapi tanpa danya suatu organisasi :
a. Tahapan permainan kontrukstif
Tahapan dimana sejumlah anak melakukan kegiatan
bermain, dimana masing-masing menerima peran yang diberikan kelompoknya.
b. Tahapan bermain paralel
Suatu tahapan dalam kegiatan bermain, dimana beberapa
anak bermain dengan materi yang sama, tetapi masing-masing anak bekerja
sendiri.
c. Tahap bermain soliter
Tahapan bermain dimana anak tidak memprhatikan apa
yang dilakukan temanya yang sedang bermain di dekatnya.
E. Urgensi
Bermain dan Eksplorasi dalam Pengembangan Kreativitas Anak
Pendidikan nilai-nilai moral dan keagamaan pada
program PAUD merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan
jika hal itu telah tertanam serta terpatri dengan baik dalam setiap insan sejak
dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk
menjalani pendidikan selanjutnya.
Namun dalam realitasnya dewasa ini terdapat sesuatu
yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu di
antaranya adalah masih banyak anak didik dan output pendidikan nasional di Indonesia
yang belum mencerminkan kepribadian yang bermoral, seperti sering tawuran antar
pelajar bahkan dengan guru, penyalagunaan obat-obat terlarang, pelecehan
seksual, pergaulan bebas, dan lain. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, sebenarnya
keadaan yang demikian itu tidak lepas dari basic pendidikannya pada masa
lampau, yang boleh jadi pada masa itu pengokohan mental-spritualnya masih belum
tersentuh secara maksimal, selain faktor lingkungan yang mempengaruhi.
Setiap masyarakat mempunyai ukuran-ukuran yang digunakan
untuk menentukan baik-buruk tingkah laku. Ukuran-ukuran itu dapat berupa tata
cara, kebiasaan atau adat-istiadat yang telah diterima oleh suatu masyarakat.
Ukuran yang digunakan untuk menentukan baik-buruk inilah yang biasanya disebut
dengan istilah moral. Istilah moral ini berkenaan dengan bagaimana seseorang
seharusnya berperilaku dengan dunia sosialnya. Berkaitan dengan aturan-aturan
berperilaku tersebut, anak dituntut untuk mengetahui, memahami, dan
mengikutinya. Perubahan-perubahan dalam dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan
penerapan aturan-aturan ini dipandang sebagai perkembangan moral seseorang.
F. Tahap
Berkembang
Tahap-tahap
perkembangan menurut Hurlock (dalam kosasih dan Rahmaniah, 2013) ada tiga yaitu
:
a) Perkembangan
kuantitas menuju kualitas, bahwa pada tahap awal perkembangan moral, anak tidak
memperhitungkan unsur motivasi. Ketika usiannya semakin bertambah, anak akan
mulai memahami bahwa kualitas suatu perubahan harus diperhitungkan dalam
menilai benar atau salah. Atau yang biasa disebut dengan tingkatan
heteronomousyang artinya setiap aturan dipandang sebagai hal yang datang dari
luar dan dianggap sakral karena aturan tersebut merupakan hasil pemikiran orang
dewasa.
b) Ketaatan mutlak
menuju inisiatif pribadi, yang pada tahap ini, disebut dengan tingkatan
autonomous (otonomi) yang artinya anak-anak akan mulai bermain dengan peraturan
yang dapat diubah sesuai dengan perjanjian sebelumnya.
c) Kepentingan diri
menuju kepentingan orang lain, bahwa pada tingkatan ini moralitas benar benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Pada
tahap ini anak mulai dapat memutuskan sesuatu dari banyak pilihan yang mereka
pertimbangkan kemudian mengambil keputusan berdasarkan kode moral pribadi.
Selanjutnya
tahap perkembangan moral menurut Piaget (dalam Santrock, 2007), ada dua yaitu
sebagai berikut :
1.
Heteronomous
Morality adalah tahapan perkembangan moral pertama menurut Piaget.Tahap ini
berlangsung kira-kira usia empat sampai tujuh tahun. Pada tahap ini, keadilan
dan aturan dianggap sebagai bagian dari dunia yang tak bisa diubah, tidak
dikontrol oleh orang.
2.
Autonomous Morality
adalah tahap perkembangan moral kedua menurut Piaget, yang tercapai pada usia
10 tahun atau lebih. Pada tahap ini, anak mulai mengetahui bahwa aturan dan
hukuman adalah buatan manusia dan bahwa, dalam menilai suatu perbuatan, niat
pelaku dan konsekuensinya harus dipikirkan.
Melengkapi
pendapat di atas menurut Kohlberg (Dalam santrock, 2007), memaparkan bahwa
tahap perkembangan moral, ada 3 sebagai berikut :
- Preconventional
reasoning(penalaran prakonvensional) adalah level terbawah dari perkembangan moral
dalam teori Kohlberg. Pada level ini, anak tidak menunjukkan interaksi
nilai-nilai moral. Penalaran moral dikontrol oleh hukuman dan ganjaran
eksternal.
- Conventional
reasoning(penalaran post-konvensional) adalah tahap kedua atau tahap
menengah dalam teori Kohlberg. Pada level ini,interaksi masih
setengah-setengah (intermediet). Anak patuh secara internal pada standard
tertentu, tetapi standard itu pada dasarnya ditetapkan oleh orang lain,
seperti orangtua, atau oleh aturan sosial.
- Postconventional
reasoning(penalaran post-konvensional) adalah level tertinggi dalam teori
Kohlberg. Pada level ini moralitas telah sepenuhnya diinternalisasikan dan
tidak didasarkan pada standar eksternal. Murid mengetahui aturan-aturan
moral alternative,mengeksplorasi opsi, dan kemudian memutuskan sendiri
kode moral apa yang terbaik bagi dirinya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sasaran Aspek
Perkembangan yang dikembangkan Nilai Agama Moral
Aspek nilai-nilai Agama Moral pada intinyadapat
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu nilai-nilai Aqidah Nilai-nilai Ibadah dan
nilai-nilai akhlak. Menurut Toto suryana, dkk (1996: 148-150) Yaitu :
a. Nilai-nilai Aqidah mengajarkan manusia untuk percaya
akan adanya Allah Yang Maha Esa dan Maha sebagai sang pencipta alam semesta,
yang ada senantiasa mengawasai dan memperhitungkan segala perbuatan manisia di
dunia. Dengan merasa sepenuh hati bahwa Allah itu ada dan Maha Kuasa , makan
manusia akan lebih taat untuk menjalankan segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Allah dan takut untuk berbuat dzalim atau kerusakan di muka
bumi ini.
b. Nilia-nilai ibadah mengajarkan pada manusia agar dala
setiap perbuatannya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai ridho
Allah. Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia
yang adil, jujur dan suka membantu sesamanya.
c. Nilai-nilai akhlak mengajarkan kepada manusia untuk
bersikap dan berprilaku yang baik sesuai norma atau adab yang benar dan baik
sehingga akan membawa kepada kehidupan manusia yang tentram, damai, harmonis
dan seimbang.dengan demikian jelas bahwa manusia pada kebahagiaan,
kesejahteraandan keselamatan manusia baik dalam kehidupan diduni maupun
diakhirat.
Mulyasa, (2015:5) Aspek nilai-nilai agama dan moral
dalam permendiknas nomor 58 tahun 2009 tentang standar pendidikan anak usia
dini, dikemukakan bahwa PAUD diselenggarakan sebelum jenjng pendidikan dasar,
melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Pada jalur pedidikan
formal dibentuk taman kank-kanak, dan bentuk lain yang sederajat , pada jalur
nonformal bentuk kelompok bermain, taman penitipan anak dan bentuk lain yang
sederajat, sedangkan pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga dn penddikan
yang diselenggarakan oleg lingkungan .
1. Perkembangan nilai-nilai moral dan keagamaan
Perkembangan nilai-nilaimoral keagaman pada anak lebih
berupa doktrin teologis yang disampaikan orang tua kepada anakny, orang tua
terus menamkan doktrin-doktrin agama sehingga muncul rasa beragama dalam
dirinya, walaupun belum dipahami oleh anak karena tahap perkembangan anak belum
samapi menerimpa doktrin agama.
Anak usia dini merupakan masa peka dalam bergai aspek
perkembangan yaitu masa awal pengembangan kemampuan fisik motorik bahasa ,
sosial, emisional, serta kognitif. Menurut piaget dalam slamet suyanto
(2003:53-65), semua anak memiliki pola perkembangan kognitif yang sama yaitu
melalui empat tahapan :
a. Tahapan sensori motorik ( 0-2 tahun )
Anak mengembangkan kemampuan untuk mengorganisasikan
dan mengkoordinasikan dengan gerakan dan tidakan fisik anak lebih banyak menggunakan
gerak reflek dan indranya untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Pra operational (2-7 tahun)
Pada perkembangan pra oprasional proses berfikir anak
mulai lebih jelas dan menyempulkan sebuah atau kejadian walaupun itu semua
benda diluar pandangan, pendengaran atau jangkauan tangannya.
c. Konket oprasional (7-9 tahun)
Anak sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan
sederhana yang bersifat konkrit dan anak dapat memahami suatu penyataan,
mengklasifikasikan (warna) dan mengurutkan (angka).
d. Formal Operasional (11 tahun ke atas)
Pikian anak tidak lagi terbatas pada benda-benda dan
kejadian arus atau terpengaruh prang lain, tetapi ia sendiri sudah
mengembangkan suatu nilai atau moral yang ia sendiri sudah mengembangkan suatu
nilai atau moral yang ia gunakan untuk memecahkan berbagai persoalan yang
terkait moral atau nilai.
B. Alasan Pemilihan Kegiatan
Mengenal Nilai Agama Moral
Kegiatan ini mengajarkan kepada
anak tentang toleransi beragama bahwa kelima agama yang ada di Indonesia hidup
rukun berdampingan, saling menghormati dalam melakukan ibadah.
C. Teknik Kegiatan Mengenal Nilai Agama Moral
1. Strategi yang dipilih
Dalam pemilihan media harus dibuat dan ditentukan
strateginya sejak awal. Upaya pemilihan strategi pembelajaran, media pembelajaran, dan alat permainan edukatif dapat meningkatkan daya
pikir anak dalam pemahaman ketika mengenal dan menghasilkan pemahaman yang
nyata.
Kegiatan mengenal nilai agama moral menjadi media perantara yang membantu
anak usia 5-6 tahun dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan mengenal
nilai agama moral secara optimal dan baik.
2. Lingkungan
Kondisi lingkungan yang
harus diciptakan pendidik untuk membantu proses pembelajaran dengan mengenalkan nilai agama moral adalah, antara lain:
a.
Lingkungan yang bersifat aktivitas yaitu
lingkungan yang terdiri dari berbagai kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari.
b.
Lingkungan keluarga yang memotivasi anak
dalam belajar nilai agama moral.
c. Lingkungan teman sebaya yang sama-sama
termotivasi dalam belajar nilai agama moral.
3. Materi
Mengenalkan
ajaran agama dan menanamkan benih-benih keimanan di hati sang anak pada usia
dini seperti ini sangat penting sebagai pondasi kehidupan beragamanya kelak.
Anak di usianya dini tertarik untuk meniru semua tindak-tanduk ayah ibunya,
termasuk yang menyangkut masalah beribadah. Sebagaimana pendapat Dr Spock
yaitu, “Yang mendasari keimanan anak kepada Allah dan kecintaannya pada Tuhan
Yang Maha Pencipta sama dengan apa yang mendasari kedua orang tuanya untuk
beriman kepada Allah dan mencintai-Nya.”Mengenalkan ajaran agama kepada anak
usia dini harus disesuaikan dengan perkembangan aspek-aspek psikologisnya,
diantaranya perkembangan kemampuan berpikir (kognisinya).
Menurut Jean
Piaget (seorang Psikolog dari Perancis), semua anak memiliki pola perkembangan
kognisi yang sama, yaitu melalui empat tahapan : Sensori – Motor, Pra –
Operasional, Konkret – Operasional dan Formal Operasional. Perkembangan kognisi
anak usia dini (2-7 tahun) berada pada tahapan berpikir “Pra operasional”.
Tahap Pra Operasional adalah tahap dimana anak tidak dapat memahami sesuatu
tanpa dipraktekkan terlebih dahulu (Piaget, 1970).
Sejalan
dengan pendapat Piaget, Jean Jacques Rousseau, mengatakan bahwa, “Anak usia
dini belajar melalui aktivitas fisiknya.” Dengan kata lain, untuk mengenalkan
ajaran agama kepada anak usia dini, haruslah dengan cara memberikan kesempatan
kepadanya untuk mempraktekkan apa yang kita katakan, dengan cara memberikan
contoh kepada anak bagaimana melakukannya.
“ LANGKAH PEMBELAJARAN
MENGGUNAKAN
MENCOCOKKAN AGAMA KE TEMPAT IBADAHNYA“
A.
Cara membuat Puzzle tempat ibadah
Alat dan Bahan :
1.
Gunting
2.
Lem
3.
Gambar-gambar orang yang menganut agama
4.
Velcor
5.
Gambar-gambar tempat ibadah
6.
Penggaris atau alat ukur panjang
7.
Kardus
Cara Membuat :
1.
Ukur kardus menjadi bentuk persegi
panjang dengan ukuran 10x15 cm.
2.
Lalu gunting kardus yang sudah diukur
tadi.
3.
Setelah itu tempelkan gambar orang yang
menganut agama ke kardus yang berukuran 10x15 cm tadi.
4.
Ulangi lagi yaitu tempelkan gambar
tempat ibadah ke kardus yang berukuran 10x15 cm tadi.
B.
Pembelajaran Puzzle tempat ibadah
Puzzle
tempat ibadah yang berisikan cerita untuk anak usia dini akan sangat
disukai oleh anak. Anak akan sangat termotivasi dalam melakukan pembelajaran
dan kegiatan nilai agama moral dengan menggunakan Puzzle tempat ibadah karena didalam puzzle terdapat
berbagai macam orang-orang yang menganut agama dan gambar-gambar tempat ibadah yang menunjang daya tangkap anak ketika melihat
dan mencocokkan gambar.
langkah-langkah puzzel tempat ibadah :
1. anak berkelompok 3 orangn duduk di atas lantai tanpa meja
2. mengkondisikan anak supaya nyaman dan tenang
3. anak aktif tanya jawab dengan guru tentang tempat ibadah
4. anak di ajak membuat pola puzzel
5. anak menceritakan kembali apa yang sudah di buat
6. anak membereskan puzzel yang sudah di buat
langkah-langkah puzzel tempat ibadah :
4. Strategi Pembelajaran yang dilakukan
a. Tujuan Pembelajaran
a)
Pemilihan puzzle tempat ibadah dianggap
sebagai hal yang tepat guna membantu anak mengembangkan potensi aspek nilai
agama moralnya.
b)
Dengan puzzle tempat ibadah anak akan
mudah memahami isi cerita dan mencocokkan gambar-gambar sebagai penunjang
pemahaman anak.
c)
Dapat menunjang kreativitas dan daya pikir anak.
d)
Guru dapat meningkatkan daya konsentrasi anak
e)
Enciptakan suasana menyenangkan bagi anak dalam belajar.
b.
Capaian dan indicator Perkembangan
Nilai Agama dan Moral
usia 5-6 tahun
|
Ruang Lingkup
|
Capaian Perkembangan
|
1. Mengenal nilai agama dan moral
|
1. Mengenal agama yang dianut
|
|
2.
Mengerjakan ibadah
|
||
3.
Berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, dsb.
|
||
4.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
|
||
5.
Mengetahui hari besar agama
|
||
6.
Menghormati (toleransi) agama orang lain
|
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN pendidikan moral di
Indonesia bisa dirumuskan sebagai berikut : Pendidikan moral adalah suatu
program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan
sumber-sumber moral dan disajikan dengan pertimbangan psikologis untuk tujuan
pendidikan. Menurut paham ahli pendidikan moral, jika tujuan pendidikan moral
akan mengarah seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar
seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup bermasyarakat (Zuriah,
2011: 22). Pendidikan moral di Indonesia dimaksudkan agar manusia belajar
menjadi bermoral, dan bukannya pendidikan tentang moral yang akan mengutamakan
penalaran moral (moral reasoning) dan pertumbuhan
inteligensi sehingga seseorang bisa melakukan pilihan dan penilaian moral yang
paling tepat (Zuriah, 2011: 21). Di Indonesia pendidikan moral lebih
tertuju bagaimana dapat menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk sikap moral
seseorang. Emile Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas Prancis.
Puzzle tempat ibadah permainan ini mengajarkan kepada anak tentang toleransi beragama bahwa kelima agama
yang ada di Indonesia hidup rukun berdampingan, saling menghormati dalam
melakukan ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko
Adi dan Anies Listyowati. 2017 , Pendidikan Bela Negara melalui Permainan Kecerdasan Jamak. Depok : Prenadamedia Group
melylolhabox.blogspot.co.id
menginspirasi sekali terima kasih atas informasinya
ReplyDelete